Menu

Recap Ngopi Cakep: Transformasi Pendanaan NGO

Galau dan dilema bukan berarti tidak bisa

20 Desember, 2021

Sumber pendanaan OMS di Indonesia masih bergantung dari sumber sumber tradisional seperti Lembaga Donor, Organisasi Internasional, Pemerintah dan sebagainya yang dalam 15 tahun terakhir ini mengalami penurunan (Megan & Tuti, 2015). Hal ini kemudian memperngaruhi OMS dengan program-program yang berdampak luas namun perlu berjuang keras karena pendanaan yang tidak mencukupi.

Diversifikasi sumber pendanaan menjadi salah satu solusi yang saat ini banyak dilakukan oleh lembaga nirlaba demi menjaga ketahanan finansial organisasi mereka. Berangkat dari fakta ini, tim Re.Search menghadirkan Ngopi Cakep ke-3 dengan topik “Transformasi Pendanaan NGO” yang membahas bagaimana mempersiapkan sumber finansial yang lebih mandiri dengan merencanakan model bisnis yang dapat dikembangkan dan menjadi tulang punggung pendanaan OMS.

Mendirikan Usaha Sosial: Kegalauan dan Dilema

Kegiatan Ngopi Cakep ke-3 pada Jum’at, 3 Desember 2021 pukul 09.30 WIB dihadiri oleh beberapa OMS yang merupakan BUILD Grantees Ford Foundation, tim pelaksana Re.Search, dan perwakilan dari Ford Foundation. Kegiatan ini dipandu oleh Ibu Laili Khairnur, Executive Director dari Lembaga Gemawan. Ibu Laili mengawali sesi dengan memberikan sebuah pertanyaan, “apa inovasi bisnis sosial yang sedang dikembangkan dalam organisasi Anda?”

Kegiatan Ngopi Cakep 3 bersama moderator dan narasumber, kiri ke kanan Bu Laili Khairnur, sebagai moderator, Pak Ahmar Rifai dan Pak Arman Arief Rachman sebagai pembicara.

Pak Ahmad Rifai (Executive Director & Co-Founder, Kota Kita) dan Pak Arman Arief Rachman (CEO PT Serrum, business venture under ruangrupa) yang menjadi panelis utama menjawab dengan satu suara, mereka masih mengalami kegalauan dan dilematisasi jika mendapat pertanyaan terkait model bisnis.

Pak Rifai dari Kota Kita menuturkan bahwa cukup sulit bagi OMS untuk mengurusi entitas bisnis yang bersifat profit, akan ada kerancuan dan mungkin akan muncul konflik kepentingan. Ia menyatakan perlunya entitas lain di bawah OMS tersebut yang mengurusi hal ini.

Kota Kita yang merupakan organisasi pemberdaya masyarakat urban dan tata kota berencana mendirikan badan usaha yang bergerak di bidang jasa kepenasehatan melihat permintaan jasa konsultasi yang cukup tinggi di masa pandemi ini. Mereka melihat peluang dari penataan daerah urban yang belum berbasis komunitas dan gerakan sosial serta terbatasnya aktivitas terjun lapangan di tengah pandemi cukup terbatas. Untuk itu, organisasi ini mencari cara untuk mengakomodasi peluang ini agar tetap sejalan dengan visi dan nilai mereka.

Poster acara Ruang Paling Bahagia, pameran virtual serrum. (Sumber gambar: serrum_studio)

Adaptasi > Inovasi

Berbeda dari Kota Kita yang membuat inovasi model bisnis dengan mendirikan badan usaha, sebagai salah satu penggerak bisnis di bawah ruangrupa Pak Arman menuturkan bahwa organisasi seni rupa kontemporer yang telah berdiri sejak tahun 2000 ini lebih memilih untuk beradaptasi dalam menghadapi situasi dan kondisi dibandingkan berinovasi.

Salah satu bentuk usaha tersebut adalah penyelenggaraan pameran hibrid (kombinasi virtual dan fisik) di pertengahan tahun 2020 untuk memberikan peluang, ide, dan keyakinan kembali kepada teman teman dari komunitas seni bahwa mereka tetap dapat bergerak dan berkarya di situasi yang sulit.

Membudayakan Peluang Menjadi Uang

Merencanakan model bisnis untuk OMS memang perlu pemikiran yang cukup matang dan proses yang tidak sebentar. Banyak tantangan yang mungkin akan dihadapi, salah satunya adalah perdebatan di internal dan keraguan apakah melihat dan mengubah peluang menjadi uang adalah salah satu alur berpikir lembaga nirlaba seperti OMS.

Tantangan semacam ini juga dialami oleh ruangrupa. Pak Arman menuturkan bahwa perencanaan modus ekonomi di organisasinya adalah sesuatu yang cukup sulit untuk dibicarakan. “Melihat peluang dan menjadikannya uang”, masih banyak teman teman dari komunitas seni yang belum aware dengan hal itu.

Namun, bukan berarti merencanakan model bisnis dalam lembaga nirlaba adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Justru seiring perkembangan jaman, internal OMS harus mulai menormalisasikan pembicaraan terkait “melihat peluang dan menjadikannya uang”.

Pak Rifai membagikan pengalamannya saat pertama kali masuk ke dalam dunia OMS. Saat itu, mayoritas orang memaknai OMS sebagai wadah pengabdian kepada masyarakat. Mayoritas anggota/staf OMS mendapatkan bayaran tidak sesuai dengan beban pekerjaannya. Ada juga OMS yang akhirnya melakukan manipulasi budget program untuk menutup pembayaran human resources. OMS di Indonesia tidak akan pernah berkembang dan maju jika prinsipnya hanya terbatas pada pengabdian semata.

Menurut Pak Rifai, saat ini kita harus mulai melihat OMS bukan hanya sebagai wadah pengabdian melainkan juga sebagai bisnis dan bagian dari profesi yang dijalankan. OMS memang tidak bisa lepas dari label “organisasi non-profit”, tapi bukan berarti OMS tidak berprofit sama sekali. Justru OMS butuh profit agar keberlangsungan organisasi dan keberlanjutan dampak yang diberikan dapat tetap terjaga.


Bagaimana menurut Anda? Apakah OMS perlu merencanakan model bisnis untuk keberlanjutan organisasinya? Lalu seperti apa model bisnis yang sesuai untuk organisasi nirlaba seperti OMS?

Share this page

facebook twitter linkedin whatsapp messenger telegram gmail outlook email

cross